Dari bahan baku hingga barang jadi harus bisa dikuasai Indonesia

INDONESIA BUTUH BADAN
SAWIT NASIONAL Oleh : Dr. Tungkot Sipayung

By Redaksi SI on 04/09/2017

Prof. Byerlee dkk. dari Stanford University dalam bukunya The Tropical Crop Revolution (2017) menyebut bahwa perkembangan industri sawit dikategorikan sebagai suatu revolusi minyak nabati tropis. Revolusi minyak nabati tropis tersebut yang setara dengan revolusi hijau dunia tahun 1950-an, telah membawa perubahan besar dalam pasar minyak nabati dunia yang ditandai dengan dominasi minyak sawit dalam produksi maupun konsumsi minyak nabati dunia.

Keberhasilan Indonesia membangun perkebunan sawit yang berhasil merebut posisi sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia sejak tahun 2006 lalu, telah membawa perubahan besar baik dalam pasar minyak sawit dunia maupun pasar minyak nabati dunia secara keseluruhan. Pangsa Indonesia tahun 2016 mencapai 54 persen dari produksi minyak sawit dunia. Pada waktu yang bersamaan, minyak sawit juga berhasil mendominasi pasar 4 minyak nabati utama dunia (minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak sunflower) dengan pangsa 40 persen, menggantikan minyak kedelai yang telah 100 tahun mendominasi pasar minyak nabati dunia.

Pencapaian industri sawit nasional yang demikian impressive, telah mencuri perhatian publik global. Masyarakat umum, akademisi, LSM di negara-negara maju (EU, USA), lembaga-lembaga internasional, dalam beberapa tahun terakahir tekun memantau perkembangan industri sawit nasional. Berbagai bentuk kampanye negatif dan kebijakan protektif untuk menjegal sawit, merupakan bagian dari reaksi atas revolusi minyak sawit yang membuat produsen minyak nabati lain ketar ketir. Ironisnya, publik di Indonesia dimana kebun-kebun sawit berada sebagian besar malah belum mengetahui sudah seperti apa perkembangan industri sawit nasional. Jangan-jangan pemerintah juga belum mengetahui sudah seperti apa industri sawit yang mengguncang dunia itu.

Karena itu wajar saja, RUU Perkelapasawitan yang sedang digodog pada Prolegnas DPR-RI saat ini, terus diramaikan pandangan pro-kontra tentang urgensi RUU tersebut. Pandangan yang kontra melihat bahwa UU No. 39/2014 tentang Perkebunan yang telah ada sudah cukup sebagai dasar hukum Perkelapasawitan, sehingga lex specialis berupa UU Perkelapasawitan tidak diperlukan lagi.

Jika paradigma, konteks, lingkup RUU Perkelapasawitan hanya melihat industri sawit sama dengan bercocok tanam kelapa sawit, atau hanya mengulang apa yang sudah ada dalam UU perkebunan, jelas tidak perlu repot-repot lagi membuat undang-undang lex specialis tersebut. Namun jika melihat seperti apa perkembangan industri sawit kita saat ini dan ke depan apalagi dikaitkan dengan dinamika persaingan pasar minyak nabati dunia, kesimpulannya akan berbeda.

TUNTUTAN PENGELOLAAN BARU

Berkembangnya industri sawit nasional menjadi suatu Megasektor Sawit, memerlukan perubahan paradigma, cara dan lingkup pengelolaan. Apalagi dengan peran strategis Megasektor Sawit dalam pembangunan Indonesia tersebut di atas, menuntut perubahan pengelolaan Megasektor Sawit yang integratif ke depan. Mengelola perkebunan sawit yang hanya sektoral berbeda dengan pengelolaan suatu Megasektor Sawit yang notabene juga pemain pasar minyak nabati global.

Sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, Indonesia perlu menempatkan diri (merebut) sebagai pemimpin industri/pasar minyak sawit global. Standar mutu industri dan perdagangan produk-produk minyak sawit global, hendaknya datang dari Indonesia dan diperjuangkan menjadi standar mutu global minyak sawit. Selain itu, Indonesia juga perlu merebut posisi sebagai pemimpin IPTEK sawit dunia. Indonesia yang telah satu abad menekuni IPTEK sawit, harus percaya diri dan lebih menguasai IPTEK seluruh mata rantai pasok (supply chain) dan seluk beluk sawit dibandingkan dengan negara-negara Barat yang tidak memiliki sawit.

Inisiasi standar mutu ISPO (Indonesia Sustainability Palm Oil) yang diberlakukan secara mandatori sejak tahun 2011 merupakan bagian langkah menjadi pemimpin standar mutu minyak sawit global. Mutu keberlanjutan (sustainability) yang sesunguhnya merupakan atribut supply chain dari hulu sampai ke hilir, dari laboratorium bibit sampai ke meja makan konsumen dan bersifat tertelusuri (traceable). ISPO (juga RSPO) saat ini masih mencakup salah satu mata rantai sawit yakni perkebunan sawit (on-farm). Untuk menjadi pemimpin standar mutu minyak sawit global, ISPO harus naik kelas dan diperluas dari ISPO on-farm menjadi ISPO-Megasektor Sawit (totally supply chain) yang diperjuangkan menjadi sistem tata kelola dan sertifikasi sustainability sawit global.

Posisi Indonesia sebagai Ketua Dewan Produsen Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries, CPOPC) akan memudahkan menginternasionalisasi standar mutu minyak sawit tersebut. Dengan cara demikian, Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, tidak menari dengan “irama gendang” negara-negara lain yang tidak memiliki kebun sawit seperti saat ini. Sebaliknya yang harus diperjuangakan adalah negara-negara konsumen minyak sawit menari mengikuti “irama gendang” Indonesia dalam pasar minyak dunia.

Untuk mewujudkan sebagai pemimpin standar mutu industri dan produk minyak sawit global yang demikian, Megasektor Sawit memerlukan pengelolaan yang integratif dari hulu sampai ke hilir; dari sentra perkebunan sawit ke pasar internasional. Mengintegrasikan standar mutu dari hulu ke hilir, dari sentra kebun-kebun sawit ke sentra-sentra konsumen disetiap negara. Mengintegrasikan kebijakan merespons perubahan pasar dari negara-negara importir minyak sawit ke seluruh komponen Megasektor Sawit secara cepat dan efisien.

Kebutuhan pengelolaan integratif Megasektor Sawit makin mendesak diperlukan terutama mempercepat industrialisasi ke depan. Sampai saat ini Megasektor Sawit nasional masih berada pada tahap awal industrialisasi yakni pada fase memanfaatkan kelimpahan sumber daya alam (factor-driven). Tahap industrialisasi Megasektor Sawit yang lebih maju dan segera kita masuki adalah tahap peningkatan produktivitas (capital-driven) dan selanjutnya pada tahap peningkatan produktivitas total dan nilai tambah tinggi melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan SDM kreatif (innovation-driven).

Jika pada saat ini (fase factor-driven) Megasektor Sawit lebih banyak diperankan Sektor Kebun Sawit, fase industrialisasi Megasektor Sawit lebih maju tersebut akan lebih banyak diperankan oleh Sektor Hulu, Sektor Hilir dan Sektor Jasa Penunjang, yang diintegrasikan dengan Sektor Perkebunan Sawit. Industrialisasi lanjutan tersebut akan membawa Megasektor Sawit pada produktivitas tinggi, menikmati nilai tambah tinggi dari ratusan produk jadi dan menghasilkan /menghemat devisa setidaknya 5 kali dari saat ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rendemen Minyak Kelapa Sawit yang dihasilkan oleh Pabrik Sawit

Kamus kamus di Perkebunan Kelapa Sawit

RENDEMEN (OER=Oil Extraction Rate) Tanggung Jawab Siapa? Estate atau Pabrik?