Permentan No. 29/2016 Menghapus 4 Pasal yang Berkaitan dengan Petani

Dalam beleid baru itu pemerintah melakukan perubahan pada Pasal 1 angka 4, kemudian Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 49 dihapus atau tidak diberlakukan. Dimana pada pasal 1 angka 4 berbunyi, Unit Pengolahan Hasil Perkebunan selanjutnya disebut Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan adalah serangkaian kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi dan memperpanjang daya simpan.
Dimana sebelumnya Pasal 1 angka 4 itu berbunyi, Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan adalah serangkaian kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi dan memperpanjang daya simpan.
Sementara untuk Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 49 secara resmi dihapus sesuai regulasi yang baru. Sebelumnya pada pasal 13, mencatat tentang potensi pembukaan pabrik kelapa sawit tanpa kebun, atau pelaku perkebunan bisa mendirikan pabrik dengan suplai TBS minimal 20% (kebun inti) dari kebutuhan pabrik pengolahan, sementara sisanya sekitar 80% pasokan TBS bisa dilakukan kemitraan dengan petani swadaya disekitar pabrik.
Demikian juga pasal 14 sebelumnya mencatat, peluang koperasi petani sawit untuk bisa memiliki saham di pabrik kelapa sawit, sebanyak 5% pada tahun ke 5 semenjak awal kemitraan dan bisa ditingkatkan hingga 30% pada tahun ke 15, proses ini pada beleid Permentan No 98 tahun 2013 bersifat wajib.
Dan terakhir, pasal 49 sebelumnya mencatat, sanksi jika pemilik pabrik pengolahan kelapa sawit yang sudah bermitra dengan petani swadaya tidak melakukan penjualan saham ke petani, dengan sanksi terberat dilakukanya pencabutan IUP-P yang sudah diperoleh pemilik pabrik pengolahan kelapa sawit.
Bagi pihak petani dengan dihapusnya ketiga pasal dan satu pasal mengalami perubahan kosa kata, jelas dianggap menghapus peluang petani kelapa sawit swadaya untuk bisa terus berkembang dan mendapatkan porsi yang adil.
Pihak Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengungkapkan, adanya perubahan atas Permentan 98/2013 tersebut dinilai sangat politis, syarat dengan kepentingan Pemodal besar yang berkompetisi pada level perubahan kebijakan. Sehingga peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar kewenangannya tidak untuk mensejahterakan dan mencerdaskan rakyat Indonesia, khususnya bagi para Pekebun.
Bahkan pihak SPSK menilai Permentan Nomor 29 Tahun 2016 tersebut memiliki potensi permasalahan utama. Lantaran bila merujuk Undang-Undang Perkebunan, beberapa ketentuan yang direvisi tersebut tidak sejalan bahkan bertentangan dengan beberapa ketentuan, misalnya bertentangan dengan UU Perkebunan Pasal 41 Ayat (3) yang mengatur atau membolehkan Perusahan untuk hanya melakukan usaha pengolahan hasil perkebunan sebagai kegiatan pengolahan yang bahan baku utamanya hasil perkebunan untuk memperoleh nilai tambah.
Komentar
Posting Komentar