Tiga Rekomendasi APEC-CTI, Termasuk Bahas Hambatan Tarif

Menurut Deny, saat ini perdagangan APEC untuk produk-produk pembangunan (Development Products) usulan Indonesia ditandai dengan rata-rata tingkat tarif yang relatif rendah, meskipun belum sepenuhnya bebas tarif. Lebih dari itu, liberalisasi tarif tidak serta-merta memecahkan masalah tentang persoalan pedesaan dan kemiskinan. Di balik makin rendahnya tarif saat ini, hambatan yang makin menggejala justru muncul dari ketentuan nontarif (non-tariff measures/NTMs).
Melonjaknya penerapan berbagai jenis NTMs bisa membuat penurunan tarif menjadi percuma. Ada dua kategori persoalan dalam NTMs. Ada NTMs yang sahih karena dibuat untuk melindungi kepentingan tertentu, seperti kesehatan atau lingkungan. Namun NTMs ini sebenarnya masih dapat diperbaiki agar tidak menciptakan hambatan terhadap perdagangan. Selain itu, ada lagi NTMs yang memang dibuat untuk untuk menghambat perdagangan, atau biasa disebut non-tariff barriers (NTB).
Penelaahan masalah hambatan tarif dan nontarif APEC terhadap Development Products (Dev-Pro) telah dilakukan beberapa lembaga studi Indonesia dalam rangka workshop dimaksud, termasuk IPB, CSIS, AIPEG (Australia Indonesia Partnership for Economic Governance), serta Badan Pengkajian dan Pengembangan (BP3) Kementerian Perdagangan. Hasil penelahaan dimaksudkan sebagai bahan masukan bagi proses pengambilan keputusan di Komite Perdagangan dan Investasi, Senior Officials Meeting (SOM), maupun lembaga pertemuan tingkat Menteri (Ministers’ Responsible for Trade Meeting dan APEC Ministerial Meeting) yang akan dilangsungkan di Hanoi, Viet Nam, masing-masing pada Mei dan November 2017.
Sementara pada fasilitasi perdagangan, hasil kajian UN-ESCAP (badan PBB untuk pembangunan kawasan Asia-Pasifik) dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengidentifikasi begitu besar biaya perdagangan dan juga sangat kompleks di sektor agrikultur (produk-produk pembangunan) di kawasan Asia Pasifik. Selain terdapat lonjakan NTMs, perdagangan Dev-Pro menghadapi hambatan prosedural yang memerlukan terobosan kebijakan, seperti implementasi ketentuan perdagangan paperless lintas batas, sertifikat sanitary and phytosanitary, serta peningkatan layanan logistik internasional.
Saat ini OECD juga tengah mengembangkan alat monitoring pelaksanaan Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, termasuk model di sektor agrikultur, dengan harapan, hasilnya dapat dilihat saat pembahasan isu Dev-Pro pada pertemuan berikutnya (tahun depan).
Dimensi investasi yang digarisbawahi pada workshop ini adalah faktor yang mendukung sisi produksi dan produktivitas (sisi suplai), jaringan distribusi, peningkatan lapangan kerja, dan kelancaran pemasaran maupun kapasitas infrastruktur dan logistik. Ini dipandang sebagai faktor kunci bagi kawasan pedesaan yang menghadapi jarak yang panjang dalam memasuki pasar domestik maupun internasional. Investasi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari perdagangan. Investasi yang masuk ke sektor agrikultur dapat membuatnya menjadi lebih efisien dalam konteks rantai nilai global (GVC).
Dalam workshop juga muncul usulan untuk mengkaji ulang daftar produk-produk pengembangan yang sudah disepakati. “Perlu dilakukan negosiasi terhadap indikator atau kejelasan tentang produk-produk pembangunan agar tepat sasaran bagi pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan,”jelasnya, dalam rilis resmi yang diterima InfoSAWIT.
Komentar
Posting Komentar