PENERAPAN PRAKTEK MANAJEMEN PERKEBUNAN TERBAIK
"Dalam 10 tahun terakhir berbagai terobosan telah dilakukan manajemen untuk menjaga eksistensi dan kemajuan perusahaan. Upaya itu mengalir mengikuti filosofi ‘hari esok harus lebih baik dari hari ini’. Tulisan ini bukan bermaksud apriori atau menggurui, namun hanya sebuah refleksi diri bahwa kita juga mampu menjadi yang terbaik."
Ketika pemerintah gencar menggadang-gadangkan visi ’35-26’ pada peringatan 100 tahun Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, sangat disayangkan belum semua pelaku perkebunan (baca: planter) di PT Perkebunan Nusantara I (Persero) memahami apa makna visi ‘35-26’ itu. Terbukti, dalam praktek membangun perkebunan kelapa sawit masih ada juga yang berpikir untuk kembali menerapkan cara-cara bercocok tanam konvensional masa lalu yang jauh dari praktek manajemen perkebunan terbaik (best agricultural management practices).
Adalah suatu keharusan untuk memberi apresiasi kepada pendahulu-pendahulu kita, yang dulu sudah pernah meraih produktivitas melampaui 25 ton/ha/tahun. Dulu lagi katanya, ada blok-blok tertentu pada beberapa kebun yang produk-tivitasnya sudah melebihi 30 ton/ha/tahun, seperti Kebun Cot Girek pada tanaman kultur jaringan. Dulu lagi ni, katanya pabrik kelapa sawit yang ada hampir tak mampu menampung pasokan TBS dari kebun-kebun. Deru suara kenderaan angkut TBS siang malam saling berpacu berlomba menghabiskan TBS Afdeling agar tidak terjadi restan di lapangan.
Keberhasilan ‘tempo doeloe’ akhirnya membuat banyak planter status quo dengan euforia masa lalu dan enggan keluar untuk berpikir realistis dan inovatif. Yang lebih krusial lagi, adanya upaya-upaya inovatif untuk memperbaiki kinerja tanaman (plant performance) dalam rangka mencapai visi ’35-26’ malah dianggap sebatas retorika dan teori belaka. Sehingga sering terdengar ucapan “ah, banyak kalipun teori kau!” atau “alah, itukan teori!” yang mematahkan ide kreatif seseorang untuk melakukan yang terbaik bagi perusahaan. Kalau meminjam istilah dulu, kebanyakan teori dikatakan ‘no action talk only alias NATO’ atau istilah sekarang odong-odong (omong doang).
Tapi, perlulah dipahami bagi yang belum mengerti apa sebenarnya makna ‘teori’ dalam ilmu pengetahuan eksakta, agar tidak menyamakan definisi ‘teori’ sama dengan ‘odong-odong’. Teori dalam ilmu pengetahuan berarti model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena alami atau fenomena sosial tertentu. Teori merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Manusia mem-bangun teori untuk menjelaskan, mera-malkan, dan menguasai fenomena tertentu (misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian di alam, atau tingkah laku hewan). Sehingga Hukum Archimedes, Hukum Grafitasi oleh Isaac Newton, Teori Relativitas Einstein dan Hukum Minimum Liebig semua berasal dari bangun ilmu sebuah hasil penelitian. Jadi ‘teori’ bukan-lah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan karena teori selalu muncul justeru dari fenomena yang terjadi.
Pernahkan Anda memasukkan batu es ke dalam sebuah gelas minuman yang berisi air penuh? Ketika batu es dimasukkan ke dalam gelas maka air akan melimpah keluar dari gelas seberat batu es yang dimasukkan ke dalam gelas itu. Fenomena ini dikenal dengan Hukum Archimedes. Hukum Archimedes menyatakan sebagai berikut, “Sebuah benda yang tercelup sebagian atau seluruhnya ke dalam zat cair akan mengalami gaya ke atas yang besarnya sama dengan berat zat cair yang dipindahkannya”. Apakah ini cuma omong doang? Tentu tidak.
Begini ceritanya, suatu ketika raja Hieron II yang memerintah kota Sirakusa di pulau Sisilia, Italia sekitar abad III Sebelum Masehi (SM) memerintahkan Archimedes untuk membuktikan kecurangan pandai emas yang diperintahkan untuk membuat mahkota emas sang raja. Berhari-hari Archimedes memikirkan cara untuk menemukan kecurangan itu namun belum dapat juga, sementara batas waktu yang ditentukan hampir tiba. Archimedes dengan pikiran yang kalut menceburkan dirinya ke dalam bak mandi. Tanpa sengaja ia menemukan teori yang feno-menal itu. Ketika ia masuk ke dalam bak mandi, ia melihat terjadi perubahan pada tinggi level air. Ketika ia berdiri dari bak, level air menjadi menurun. Kemudian dia duduk kembali, level air meningkat kembali. Dia berbaring, level air naik lebih tinggi lagi, dan dia merasa lebih ringan. Dia berdiri, level air menurun dan dia merasa dirinya lebih berat. Air ternyata telah mendorong dia ke atas sehingga dia merasa ringan. Tiba-tiba ia bangkit, lupa mengenakan pakaian, sambil telanjang bulat lari sepanjang jalan menuju rumah-nya. Kepada istrinya ia berteriak,eureka! eureka!. Artinya, sudah kutemukan!, sudah kutemukan!.
Ternyata, kunci dari temuannya adalahkepadatan. Jika mahkota raja terbuat dari logam bukan emas, berat mahkotanya bisa saja sama dengan mahkota yang terbuat dari emas murni tetapi akan memiliki kepadatan yang berbeda sehing-ga akan menumpahkan jumlah air yang berbeda. Akhirnya, mahkota dan sebong-kah emas yang beratnya sama di masuk-kan ke sebuah bejana berisi air. Mahkota-nya ternyata menumpahkan air lebih banyak dari sebongkah emas sehingga terbukti mahkota itu tidak seluruhnya terbuat dari emas.
Tak perlulah panjang lebar membahas masalah penemuan teori ini, kebanyakan membahas walhasil dikatakan kebanyakan teori pula. Hanya saja perlulah kita tangkap apa makna dari cerita Archimedes tersebut. Bahwa, teori bukanlah sekedar omong doang, teori adalah bangun ilmu yang selalu diperoleh secara empiris, teruji dan digunakan untuk membuktikan suatu permasalahan.
Kembali ke topik utama tulisan ini. Banyak teori dalam literatur mengatakan jika dikelola dengan benar, kelapa sawit mampu berproduksi maksimal bahkan dalam kondisi yang sesuai mampu melampaui potensi produksi rata-ratanya. Perkebunan Besar Swasta Nasional maupun Asing di Indonesia yang sebagian besar merupakan pendatang baru dalam bisnis perkebunan, sudah lebih dahulu bermimpi untuk meraih ’35-26’. Berbagai upaya untuk memperbaiki genetis unggul serta kultur teknis tanaman terus mereka lakukan untuk mencapai visi tersebut. Hingga beberapa blok pada kebun milik Socfin-Indonesia, London Sumatera, Anglo Eastern Plantations dan Smart Plantations sudah pernah meraih angka ini. Di satu lokasi blok kebun Kelapa sawit Anglo Eastern Plantations di Kampung Pon, Sumatera Utara mampu mencapai produk-tivitas 45 ton/ha dengan losis yang sangat kecil. Sedangkan kebun Smart Plantations dengan menggunakan bibit Dami Mas, produktivitas tanaman mampu mencapai 35 ton/ha/tahun dengan oil extraction rate(OER) atau rendemen 27%. Dan hingga kini, balai penelitian mereka terus ber-upaya menemukan bibit unggul dengan produktivitas yang lebih tinggi, tahan ter-hadap penyakit terutama Ganoderma, daya adaptasi yang tinggi, dan keung-gulan-keunggulan lainnya.
Di sisi lain, bahan tanaman unggul Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang sudah kita gunakan saat ini, seperti La Mesesungguhnya memiliki potensi produksi 36 ton/ha/tahun dengan OER 26% danYangambi 39 ton/ha/tahun dengan OER 26%. Tinggal bagaimana cara manajemen kebun untuk meraih potensi produksi tersebut serta peran penting pabrik kelapa sawit dalam menjalankan good manufac-ture practices. Menekan losis seminimal mungkin untuk menghasilkan minyak sawit yang maksimal.Sebab, sehebat apapun usaha kebun untuk menekan losis, sementara losis di pabrik tidak terkendali, maka visi 35-26 itu hanya sebatas mimpi.
Jadi, tak usahlah kita gugup dan gagap melihat capaian produksi mereka maupun perkebunan Badan Usaha Milik Negara lainnya, karena memang dalam skala penelitian saja pada era 90-an di Filipina, produktivitas Kelapa sawit ternyata mampu mencapai 45 ton/ha. Kiatnya adalah kondisi agroklimat diatur sesuai kebutuhan tanaman, aplikasi pemupukan yang berimbang dan tepat waktu serta per-lakuan standar kultur teknis dilakukan dengan benar. Berarti kunci keberhasilan-nya adalahperlakuan.
Setiap pelaku perkebunan (planter) sebenarnya tak perlulah digurui lagi, bagaimana cara untuk meraih potensi produktivitas tanaman kelapa sawit yang maksimal, faktor-faktor utama pendukung capaian produksi antara lain bahan tanaman genetis unggul, kondisi edafik (tanah) dan agroklimat yang sesuai, pemenuhan jumlah tegakan yang standar, praktek manajemen perkebunan yang terbaik sejak Tanaman Baru tahun ke-0 (TB0) meliputi perbaikan kesuburan tanah (soil amelioration) dan pemenuhan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air, sumber-daya manusia yang berkualitas dan berintegritas tinggi, ketepatan penanganan masalah sosial dan keamanan serta efisiensi pengolahan hasil harus benar-benar terpenuhi. Dan yang tak kalah penting adalah komitmen dukungan semua pihak. Jika tidak, janganlah kita terlalu berharap visi ’35-26’ akan dapat diraih.
Adalah suatu pendapat keliru, jika keputusan penghematan dilakukan di masa investasi. Dengan mengabaikan tahapan-tahapan pekerjaan kultur teknis standar masa TB0 atas dalih menekan harga pokok. Padahal, prinsip ekonomi “dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya” tidak relevan dalam masa investasi tanaman Kelapa sawit. Namun, bukan pula berarti penggelontoran dana yang tidak tepat sasaran.
Kebiasaan lama, kalau produktivitas Kelapa sawit yang diraih nantinya ternyata tidak maksimal, maka para planter ber-segera mencari ‘kambing hitam’. Walau-pun sebenarnya planter tidaklah identik dengangoat seller (pedagang kambing). Biasanya yang menjadi sasaran adalah iklim, kenapa? Sebab faktor ini dianggap yang paling mudah dijadikan alasan dan berisiko kecil, yaitu akibat terjadinya kemarau atau tingginya curah hujan. Dengan memakai teori defisit air tanah (water deficit) maupun hari terpanjang tidak hujan (dry spell)yang ujung-ujungnya menyalahkan Tuhan.Padahal kalau dikaji secara komprehensif, tidak optimalnya produktivitas tanaman boleh jadi meru-pakan resultante perlakuan kultur teknis minimal yang dilakukan sejak TB0.
Allah berfirman, di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan (QS: Al A’raaf – 25).
Dan agama telah mengajarkan pada kita bahwa seluruh benda di alam ini bertasbih (baca: beribadah) kepada Allah yang menciptakannya, tak terkecuali tanah dan tanaman kelapa sawit yang kita kelola untuk menghidupi keluarga kita. Merujuk pada Surat Al ‘Araaf ayat 58, tersirat makna yang dalam bahwa Allah akan memberikan produksi yang tinggi jika kita memperlakukan tanah sebagai media tumbuh tanaman dengan perlakuan yang terbaik (standar kultur teknis). Dan bercermin Surat Al ‘Araaf ayat 25 serta kata “bekerja adalah ibadah”, apakah kita tega demi kepentingan sesaat, memper-lakukan tanah dan tanaman yang juga bertasbih (beribadah) kepada Allah itu dengan perlakuan yang tidak benar (baca: kultur teknis) padahal dari tanah dan tanaman itu kita memeroleh penghasilan. Lagipula, kalau kita sepakat bahwa bekerja adalah ibadah, maka sesungguhnya apa yang kita lakukan akan dipertanggung-jawabkan kelak di kemudian hari.
Haruslah kita sadari bersama bahwa apa yang kita tanam hari ini, akan kita tuai hasilnya di kemudian hari. Demikian pula setiap kebaikan yang kita lakukan, maka kebaikan itu akan kembali kepada diri kita sendiri. Begitupun dengan keburukan yang kita lakukan, maka keburukan itu akan kembali pada diri kita sendiri.
Mari kita ubah paradigma berpikir kita dengan cara meninggalkan prilaku masa lalu yang kontra produktif menuju kinerja yang excellent. Dan harus kita sadari bahwa keberhasilan masa lalu tidak selalu bisa menyelesaikan permasalahan saat ini dan masa yang akan datang. Kita bukanlah kamus berjalan, yang serba tahu tentang segala sesuatu sehingga tidak perlu lagi menerima pembelajaran. Bahkan, dalam situasi tertentu kita harus berpikir out of the box, mengerahkan semua kemampuan berpikir dan bekerja, melakukan terobosan-terobosan inovatif dan lompatan-lompatan besar demi kemajuan perusahaan dengan dukungan penuh manajemen tentunya. Dan jika perlu menduplikasi keberhasilan perusahaan lain yang sudah maju dengan mengambil dan menerapkan hal-hal yang positif agar kita juga bisa dan bahkan lebih maju dari perusahaan itu.
Semoga kita menyadari bahwa perusa-haan ini bukanlah warisan para pendahulu, tetapi titipan anak cucu sebagai generasi penerus dan seluruh stakeholder yang mendapat manfaat dengan keberadaan entitas bisnis ini. Oleh karenanya, harus kita kelola dengan baik agar tetap survive di masa yang akan datang, tumbuh dan terus berkembang serta mampu sejajar dengan perusahaan perkebunan besar lainnya. Kesalahan yang kita lakukan dalam menerapkan praktek manajemen perkebunan saat ini akan menjadi ingatan buruk bagi para penerus dan anak cucu kita di masa yang akan datang.
Komentar
Posting Komentar